Senin, 28 Maret 2011

Pemain Sepakbola pun Menangis

PERSETERUAN pemerintah dengan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) terus berlanjut. Puncaknya ketika pemerintah melalui Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Menegpora) Andi Alfian Mallarangeng memberikan kartu merah kepada Ketua Umum PSSI Nurdin Halid dan kroninya.

Kroni Nurdin dimaksud adalah Nugraha Besoes dan Nirwan Bakrie. Ketika orang tersebut dinilai setali tiga uang dalam mengelola PSSI. Akibatnya Timnas Indonesia tidak pernah mengukir prestasi, meski PSSI mengontrak pelatih asing dan melakukan naturalisasi.

Kesabaran pecinta sepakbola terhadap sepak terjang Nurdin cs mencapai klimaks ketika Tim Merah Putih gagal meraih mahkota AFF 2010. Indonesia ditekut Malaysia 2-4. Usai laga beredar isu bahwa pertandingan tersebut dijual oleh elit PSSI. Beralasan memang karena Indonesia harus mengakui Malaysia 0-3. Sementara pada babak penyisihan Indonesia melindas Malaysia 5-1.

Gelombang demonstrasi terus mengalir di berbagai provinsi. Tuntutannya satu, meminta trio N yakni Nurdin-Nugraha-Nirwan meletakkan jabatannya di PSSI. Aksi demonstrasi tampaknya tidak membuat Nurdin sadar diri. Dia tetap pada pendiriannya yakni berambisi kembali memimpin PSSI. Bahkan Nurdin bersama orang loyalnya mencoret KSAD George Toisutta dan penggagas LPI Arifin Panigoro sebagai bakal calon ketua umum PSSI periode mendatang.

Melihat gejala inkonstitusional ini, Menegpora dengan wewenangnya mengimbau PSSI agar menjalankan kegiatan organisasinya berdasarkan statuta FIFA. Dengan alasan sudah memperoleh persetujuan FIFA, Nurdin menggunakan statuta PSSI dalam kongres. Padahal ada pasal yang diplintir PSSI, terkait status calon ketua umum.

Dalam statuta FIFA disebutkan, seseorang yang pernah terlibat tindak kriminal dan dinyatakan bersaalah oleh pengadilan tidak bisa menjadi calon ketua umum. Sementara PSSI mengubah statuta itu dengan seorang calon ketua umum tidak terlibat dalam tindak kriminal saat berlangsungnya kongres.

Puncaknya terjadi ketika PSSI menggelar kongres untuk memilih komite pemilihan dan komite banding di Pekanbaru, Kepulauan Riau. PSSI pro-Nurdin gagal menjalankan kongres karena 'direbut' Komisaris Utama Persebaya 1927 Saleh Mukadar bersama anggota Komite Penyelamat Persepakbolaan Nasional (KPPN).

PSSI sendiri akhirnya gagal menentukan komite pemilihan dan komite banding. Dua agenda tersebut diambil alih Saleh dan KPPN dan berhasil membentuk dua komite tersebut. Meski janggal, mereka tetap mengirim hasil tersebut kepada FIFA. Situasi ini rupanya membuat Nurdin berang dan menggelar jumpa pers seakan-akan arena kongres sangat mencekam. Bahkan Nurdin menabuh genderang perang dengan Menegpora.

Nurdin menantang dengan menyatakan tetap menjalankan agenda yang telah disusun, demi mempertahankan martabat PSSI. Dia menghardik bahwa pemerintah dalam hal ini Menegpora tidak berhak mencampuri terlalu dalam dalam kegiatan PSSI.

Menyikapi ulah Nurdin ini, Menegpora atas nama pemerintah Indonesia akhirnya mengeluarkan keputausan. Pemerintah menghentikan sejumlah fasilitas untuk menyelenggarakan pertandingan yang selama ini diterima PSSI.

Pemerintah juga tidak akan memberikan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk membiayai klub hingga terbentuk kepengurusan yang baru. Seluruh jajaran pemerintah baik di pusat maupun di daerah, termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), tidak bisa lagi memberikan pelayanan dan fasilitas kepada pengurus PSSI.

Kepalang basah, demikian kiranya yang ada dalam pikiran Nurdin. Politikus Partai Golkar ini menegaskan konstitusi PSSI tidak harus mendapat pengakuan dari pemerintah. Tidak ada dalam statuta PSSI, FIFA ataupun AFC aturan tersebut.

Sadar atau tidak sadar, sikap keras Nurdin ini terlah melukai perasaan para pemain baik yang tergabung dalam Timnas Indonesia atau yang hanya memperkuat klub. Bisa dibayangkan sepakbola Indonesia yang masih amatir harus mencari dana sendiri. Tanpa bantuan pemerintah, PSSI pasti kesulitan mencari sponsor yang bersedia mendanai pembinaan di Indonesia.

Realita ini menjadi cikal bakal kehancuran para Garuda Indonesia. Tanpa APBD, sebagian besar klub binaan PSSI tidak akan bisa membayar gaji para pemainnya. Sekolah sepakbola yang mendapat suntikan dana dari pemerintah juga terancam ditutup. Apalagi beberapa fasilitas lainnya juga dicabut oleh pemerintah.

Andaikata Nurdin memiliki jiwa kesataria, pasti kondisi PSSI tidak serunyam ini. Ketua PSSI yang kontroversial telah membuat pemain kebanggaan Indonesia menangis. Fakta itu tidak membuat Nurdin merendah. Hal ini menimbulkan satu pertanyaan, mengapa Nurdin, Nugraha dan Nirwan bergitu kompak ingin tetap menguasai PSSI? Apakah karena PSSI dikenal sebagai cabang olahraga dengan "ladang yang basah"?

Jangan korbankan masa depan pemain hanya karena satu kepentingan pribadi atau kelompok. Olahraga selalu mengusung sportivitas, bukan kepentingan. Marilah semua pihak memikirkan yang terbaik bagi sepakbola Indonesia, bukan terbaik bagi diri sendiri dan sekelompok orang.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More