Kamis, 31 Maret 2011

Sekolah Bambu Besutan Bule Kanada di Bali

Sekolah yang keseluruhannya dibuat dari bambu ini menjadikannya bangunan bambu terbesar di Asia. Rujukannya bahkan ada di Google Earth.Dengan menggunakan bahan ramah lingkungan, sekolah ini bertekad menjadi sekolah berkarbon terendah di bumi.

Pintu masuk sekolah yang berupa jembatan bambu membuat anak-anak bisa bermain di sungai di bawahnya. Jalan setapak di lingkungan sekolah dikelilingi batu vulkanik. Ruang kelasnya terbuka, melalui taman yang dipenuhi pohon nanas dan tanaman padi yang tumbuh subur.

Di pusat sekolah adalah area utama yang bernama “Heart of School”. Ini adalah katedral dari segala yang hijau. Bangunan ini didirikan dalam bentuk heliks ganda, berbentuk spiral tiga lantai. Sebuah gitar digantung di pusat bangunan sehingga anak-anak bisa memainkan sekolah mereka sendiri seperti instrumen.

Green School mengajarkan siswanya menanamkan nilai-nilai kehijauan. Pendiri sekolah, John Hardy tertarik mendirikan sekolah ramah lingkungan setelah menyaksikan film dokumenter tentang pemanasan global besutan Al Gore yang berjudul An Inconvenient Truth. Menurutnya, film itu "menghancurkan hidupku”.

“Jika kita meyakini (pemanasan global) hanya sebagian kecil dari cara untuk kehancuran planet, setiap orang harus menggunakan pendekatan lebih bertanggung jawab. Dan pendidikan merupakan titik awal untuk mengatasi ini,” ujar John seperti dikutip dari The Telegraph, Senin (28/3/2011).

John yang menjalankan sekolah ini bersama istrinya, Cynthia, membangun Green School dengan uang sendiri. Tahun ini, mereka akan melepaskan ketergantungan pada jaringan listrik dan menggantinya dengan sinar matahari serta sistem pusaran air dari sungai yang mengalir. Menu makan malam sekolah menggunakan bahan organik, yang ditanam di lingkungan sekolah dan dibungkus dengan daun pisang.

“Belajar hijau” merupakan inti utama dari kurikulum. Mata pelajaran utama, Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu pengetahuan, dan Drama, diresapi dengan pendidikan keberlanjutan. Para siswa belajar matematika dan sains dengan bambu, untuk mengukur proporsi dan rencana konstruksi dalam membangun bambu. Mereka juga menulis dan melakukan permainan mencari kehidupan spesies yang terancam punah.

Green School berharap para siswanya mengembangkan ikatan pribadi dengan alam, sehingga siswa akan menghormati alam sepanjang hidup mereka. Para siswa menanam sayuran di “kebun pizza” (lengkap dengan oven pizza luar ruangan). Mereka juga terlibat pelestarian satwa yang terancam punah di tempat penangkaran yang dipenuhi burung jalak Bali (Leucopsar rothschildi) dan rangkong tunggal yang masih menunggu pasangan untuk dinikahkan.

Sementara yang lainnya bekerja dengan Coral Watch untuk memantau pelestarian terumbu karang dunia. Guru di sekolah ini termasuk aktivis gerakan lingkungan. Bulan lalu, seorang anggota suku Kamoro dari Papua Nugini mengajarkan siswa mengukir instrumen dari bambu.

Tahun ini, Green School berusia tiga tahun. John telah menjangkau donor dari filantropi utama. Ada lebih dari 200 siswa dari 28 negara, termasuk Swedia, Lithuania dan Singapura. Untuk menjadi murid Green School, seorang siswa harus membayar biaya sekolah 4.558 poundsterling (Rp63 juta lebih) untuk jenjang taman kanak-kanak (TK), sementara siswa sekolah menengah dikenakan biaya 5.693 poundsterling (Rp79 juta lebih). Untuk warga Bali, akan mendapatkan 20 persen sokongan dana dari donatur Sir Richard Branson, Donna Karan, serta Ben&Jerry's yang juga mengajar cara membuat es krim.

Meski mengusung misi ‘hijau’, sekolah ini dikritik karena membuat Taman Eden mini tapi tidak menyiapkan anak-anak dalam ‘dunia nyata’. Namun John punya jawaban atas kritik ini. Menurutnya, Green School merupakan mikrokosmos dunia global. "Ketika saya melihat mereka bersama, saya tahu mereka belajar bekerja sama bagaimana hidup di masa depan," ujarnya.

Juli lalu, John menawarkan ide Green School kepada orang-orang yang ingin membangun sekolah dengan konsep sama. Dia meyakini, ide ini bisa diterapkan di mana pun. Model ini bersifat lokal, membiarkan lingkungan menjadi pemimpin dan mencoba berpikir bagaimana (dan dengan apa) keturunan kita akan membangun.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More