Selasa, 27 Oktober 2009

Melahirkan Einstein Ala Cina

Booming mental aritmatika, mengembangkan otak secara seimbang. Daya pikir
dan daya imajinasi anak lebih tinggi. Sayang, ummat Islam masih asing.
"Berapa 17 + 86 + 57 - 24 + 68 + 96 + 57 - 26?," tanya seorang guru di
depan 20 orang murid SD. Tiga detik setelah itu Susan (8) berteriak "331!"
disusul beberapa temannya yang menjawab hampir bersamaan, penuh percaya
diri.


Subhanallah. Mengagumkan! Kemampuan mereka itu patut diacungi jempol,
karena tak banyak anak yang mampu menjawab soal secepat itu. Tak lain,
anak-anak itu adalah peserta pendidikan mental aritmatika yang sekarang
sedang marak di masyarakat. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya,
Bandung, Yogyakarta, Ujungpandang kini bermunculan lembaga kursus mental
aritmatika.
Apakah gerangan mental aritmetika ini, sehingga begitu menarik perhatian
siswa dan orang tuanya?
Mental aritmatika (MA) adalah sebuah metoda pengajarkan matematika kepada
anak dengan menggunakan alat bantu soroban, yakni alat hitung tradisional
Jepang atau Cina yang berupa kotak segi empat berisi manik-manik dalam
jumlah tertentu. Dengan alat itu orang dapat menghitung dengan sangat
cepat, bahkan lebih cepat daripada menggunakan kalkulator. Untuk tingkat
pemula, para siswa diajarkan berhitung dengan menggunakan alat bantu sempoa
atau sipoa atau disebut juga soroban. Tapi jika sudah mahir, tanpa
menggunakan alat bantu tersebut, cukup dengan membayangkannya saja, seorang
siswa tetap dapat menjawab soal hitungan cepat dan akurat. Inti dari
belajar MA sebenarnya bukan untuk menghasilkan anak yang mampu berhitung
cepat. Inti dari MA, kata Andreas Chang, Ketua Yayasan Abacus Mutatad
Mental Aritmatika (AMMA), adalah untuk meningkatkan konsentrasi,
kreativitas, dan juga kecerdasan emosional anak. Menurut pakar psikologi
anak, Dr Seto Mulyadi yang juga sebagai konsultan AMMA, anak-anak yang
belajar MA akan memiliki daya konsentrasi, daya ingat dan daya kreasi yang
tinggi. Juga cenderung mempunyai rasa percaya diri tinggi dan logika
berfikir yang jernih.
Komentar senada juga dikemukakan Dr Dwijo Saputro DSPJ, psikiater anak pada
RS Husada Jakarta. Menurutnya, belajar MA dapat mengoptimalkan fungsi otak
secara keseluruhan. "Metode ini bisa membuat anak mampu berhitung lebih
cepat, membuat daya ingat, kreativitas dan konsentrasi meningkat secara
bermakna," katanya sebagaimana dikutip Surabaya Pos. Meskipun belum ada
penelitian yang spesifik tentang pengaruh pendidikan MA terhadap fungsi
kedua belahan otak, namun hal ini bisa diterangkan dengan konsep penggunaan
otak kiri dan otak kanan. Sudah lama para ahli meyakini bahwa belahan otak
kiri dan kanan manusia sama bentuknya tapi berbeda fungsinya. Hal ini
seperti yang disampaikan pakar syaraf RSCM, Prof Mahar Mardjono kepada
Higina. "Belahan kiri memiliki banyak pusat yang fungsinya sebagai
kemampuan untuk membaca, menghitung, menulis, berkomunikasi verbal atau
berbahasa, dan lain sebagainya. Sedangkan belahan kanan merupakan
pusat-pusat untuk kemampuan berimajinasi, mengenal bentuk dan dimensi,
warna, melihat jauh ke depan, serta kreativitas," ungkap guru besar FK UI
ini.
Masih menurut Mahar dan juga menurut pakar pendidikan Suyanto PhD, baik di
sekolah maupun di keluarga, pendidikan di Indonesia saat ini cenderung
menekankan penggunaan fungsi otak kiri. Karena itu perlu diseimbangkan
dengan pelajaran yang mengaktifkan penggunaan otak kanan, antara lain
dengan pelajaran MA ini, yang mengkondisikan siswa untuk membayangkan
bentuk dan dimensi soroban dalam proses berhitungnya. Dari pengakuan orang
tua yang anaknya mengikuti kursus MA, ternyata kursus ini dapat membantu
perkembangan anaknya, baik segi prestasi, keterampilan dan kemampuan
lainnya. Pengakuan Abas, orang tua Fikri (10) kepada Sahid, menurutnya,
setelah anaknya ikut kursus MA sampai tingkat 7 tampak ada perkembangan.
"Anak saya selalu siap menghadapi pelajaran di sekolah, disiplin, dan
mempunyai motivasi yang kuat untuk maju," katanya.
Suasana Ceria
Kursus MA dibagi menjadi 10 tingkat. Lama satu tingkat sekitar tiga bulan.
Tetapi jika prestasi anak bagus, bisa dipercepat. Proses belajar mengajar
dilakukan dua kali atau satu kali dalam seminggu. Sedangkan lama belajar
setiap pertemuan yaitu 1,5 jam hingga 2 jam.
Sasaran utama dari penerapan MA ini adalah anak-anak berusia 6 -12 tahun.
Bahkan menurut Ketua AMMA Indonesia, Andreas Chang MA, idealnya sedini
mungkin, yakni ketika anak sudah bisa mengenal angka dan sejak bisa
berhitung. Biasanya ini terjadi pada usia 3-4 tahun. "Pada usia ini
perkembangan otak manusia mulai terbentuk dan bisa dikembangkan dalam hal
imajinasi, kreativitas dan kecerdasannya. Otak masih murni dan belum
terpengaruh," katanya agak berpromosi.
Lepas dari berapa umur yang ideal, dalam mengajarkan MA diperlukan metode
dan pendekatan yang agak berbeda dengan pendidikan di sekolah yang bersifat
formal. Agar siswa tidak bosan dan jenuh maka pengajaran MA harus ada
variasi.
Disamping itu pendidikan MA lebih menekankan pada pola permainan, sehingga
setiap anak yang mengikuti pendidikan ini tidak merasa takut Kegiatan
belajar mengajar MA harus diselenggarakan dengan cara bermain dan suasana
kelas yang menyenangkan. "Siswa harus dirangsang untuk berkompetisi agar
mereka selalu termotivasi untuk meningkatkan prestasinya. Dan guru harus
memberi penghargaan atas prestasi yang diraih siswa. Dengan cara ini siswa
terkondisikan untuk senantiasa menyenangi pendidikan ini," kata Ida Sufilah
Widayanti, pengajar di Mental Aritmatika Soroban (MAS) di Bandung. Bahkan,
Seto Mulyadi yang akrab dipanggil Kak Seto, menganjurkan berbagai variasi
dalam pengajaran MA, misalnya lagu, dongeng, dan permainan. Gurunya pun
harus menggunakan pendekatan personal terhadap anak. Hal ini menjadi
fenomena baru bagi dunia pendidikan, khususnya pelajaran matematika, karena
bukan rahasia lagi selama ini pelajaran matematika telah menjadi momok bagi
banyak siswa. Seperti yang ditulis Fawzia Aswin Hadis dalam bukunya
Psikologi Perkembangan Anak, "Numeric phobia (takut terhadap pelajaran
berhitung) merupakan permasalahan klasik yang terjadi pada hampir semua
jenjang pendidikan dari SD sampai perguruan tinggi." Senada dengan hal itu,
psikolog pendidikan Dhiany Tjokro, dalam sebuah dialog di televisi
mengatakan, ketakutan anak-anak terhadap pelajaran matematika lebih
disebabkan kurangnya kreativitas guru dalam mengajar, di samping juga
karena kurangnya keterangan bagi siswa kenapa harus belajar dan bagaimana
manfaat belajar matematika.
Seperti mengikuti anjuran Kak Seto dan Ida, untuk merangsang siswa supaya
rajin belajar YAI (Yayasan Mental Aritmatik Indonesia) memberikan rompi
gratis kepada siswa yang naik tingkat. Selain itu, agar siswa tak jenuh
belajar di kelas, YAI juga mengadakan wisata dan lomba penjelajahan
aritmatika di kebun teh Wonosari, Lawang. Siswa dibagi per kelompok dan
masing-masing kelompok mencari pos yang telah ditentukan untuk
menyelesaikan soal-soal di pos tersebut. Di pos 1 misalnya, ada mainan
balon yang di dalamnya ada soalnya.
Tapi ada juga lembaga kursus MA yang tidak mengikuti nasehat itu. Lantaran
guru tidak ditanamkan dan dibekali untuk senantiasa dapat membangun suasana
kelas yang menyenangkan, dan murid acapkali dibebani PR yang cukup banyak,
kursus itu malah akhirnya menjadi beban juga bagi orang tua. "Anak saya
tidak mau lagi ikut kursus MA karena sering banyak soal yang harus
dikerjakan di rumah," ujar Tati, ibu dari Muhammad Toyar (8). Hal lain
yang perlu diperhatikan adalah kerjasama antara orang tua siswa, pengelola
dan guru di sekolah. Masalahnya, meskipun kursus MA sudah memasyarakat,
masih ada pihak yang tampaknya belum memahami pendidikan ini serta
dampaknya, sehingga ada yang merasa dirugikan. Hal ini seperti yang dialami
oleh Munira (10). Nilai matematika Munira di buku rapor yang biasanya 9
turun menjadi 7 karena pada berkas ujiannya hanya mencantumkan hasilnya
tanpa ada coretan (proses perhitungan). Ketika dikonfirmasi oleh orang
tuanya kepada gurunya, menurut guru tersebut, "Meskipun jawaban anak ibu
benar, tapi ada kemungkinan dapat nyontek dari temannya," kata orang tua
Munira menirukan ucapan guru anaknya.
Jadi, kerjasama guru di sekolah, orang tua dan anak adalah mutlak. Oleh
karena itu, sekalipun belajar MA, apabila anak menyelesaikan pelajaran
matematika sebaiknya tetap memakai cara matematika. "Logika matematika
tentulah memakai logika matematika, jangan dicampuradukan dengan logika
sempoa, karena hasilnya tidak sebaik yang diinginkan," ujar Muchtar, guru
SD Intergral Lukmanul Hakim Surabaya dan instruktur kursus MA.
Berkantong tebal
Meski belum ada data yang akurat mengenai jumlah pengelola maupun siswa
yang mengikuti kursus ini se-Indonesia, penelusuran sementara menunjukkan
lembaga yang menyelenggarakan kursus ini sudah lebih dari sepuluh
jumlahnya. Sedangkan jumlah siswanya diperkirakan puluhan ribu anak.
Sebagai contoh, Yayasan Aritmatika Indonesia (YAI) memiliki 40.000 siswa
dari 200 cabang yang dimilikinya. AMMA memiliki 10.000 siswa dari 150-an
cabangnya yang tersebar di seluruh Indonesia.
Masih ada yang lain, seperti Sempoa Indonesia Pratama (SIP), Universal
Mental Aritmatika (UMA), International Mental Aritmatic (IMA), Mental
Aritmatika Soroban (MAS), Edukasi Mental Aritmatika Soroban (EMAS), Adil
Sempoa Mandiri (ASMA), Akademi Keguruan Mental Aritmatika (AKRAMA)
Indonesia, Soroban Indonesia Mental Aritmatika (SIMA), Hitung Cepat Sempoa
(HCS) dan Universal Megabarand Centre (UMC).
Jumlah lembaga pendidikan itu masih mungkin akan terus bertambah, karena di
samping sedang trend di kalangan siswa perkotaan, bagi pengusaha sendiri
syarat dan perizinannya tidaklah sulit. Bahkan pendiri lembaga kursus ini
seakan membuka jalan lebar kepada masyarakat yang ingin menjalankan bisnis
ini. Umumnya sistem yang dipakai adalah waralaba (franchise) dengan pola
bagi hasil. YAI misalnya, mempersilakan orang untuk membuka usaha kursus
berbendera YAI. Syaratnya, menyediakan tempat belajarnya serta membayar fee
sebesar Rp 3,5 juta kepada YAI. Fee sebesar itu sudah termasuk pelatihan
bagi seorang calon pengajar hingga level tertinggi. Kalau calon pengajarnya
lebih dari satu akan dikenakan biaya tambahan sebesar Rp 1,2 juta per
orang.
Sedangkan UMC, calon mitranya cukup menyediakan tempat yang harus disurvei
terlebih dahulu. Sedangkan guru akan dilatih dengan biaya Rp 150.000 per
tingkat atau Rp 1,5 juta hingga grand level. Sementara pola bagi hasilnya
adalah dari biaya kursus yang Rp. 250.000 per tingkat, "Sekitar 30% untuk
UMC dan 70% untuk pengelola. Sebab kami menyiapkan semua materinya, yakni
buku, sempoa, dan kaos," kata Iwan Sugiarto, pemilik UMC. Pengelola kursus
MA rata-rata menerapkan standar yang hampir sama dalam menentukan biaya.
IMA memasang harga Rp 130.000 per bulan, YAI memungut uang pendaftaran Rp
50.000 per orang dan biaya kursus Rp 275.000 per tingkat (tiga bulan).
AMMA menentukan biaya kursus Rp 220.000 per tingkat. Harga yang lumayan
mahal untuk ukuran kebanyakan orang tua siswa di Indonesia.
Karena itu sampai saat ini pendidikan MA hanya bisa diikuti oleh kalangan
yang berkantong tebal saja, seperti dari kalangan etnis Tionghoa.
Selebihnya, masih banyak yang cuma jadi penonton. Sebenarnya tertarik,
tapi apa daya biaya tak memadai. "Para orang tua dan anak-anak banyak yang
tertarik dengan pendidikan yang kita tawarkan. Namun, mengingat biaya yang
sangat mahal, peminat harus berpikir ulang dan tidak sedikit yang
mengurungkan niatnya," ujar Sudartinah (65), aktivis Aisyiah Yogyakarta
yang juga pengelola kursus MA.
Menyikapi kondisi itu Ketua Jurusan Pendidikan Matematika Universitas
Negeri Yogyakarta, Marsigit MA, mengatakan secara substansi setuju pada
pengajaran sempoa, namun ia menentang apabila formatnya dimasuki
kepentingan bisnis yang menguntungkan orang-orang tertentu. Karena itu,
Marsigit menyarankan agar orang tua dan siswa jangan memaksakan diri
mengikutinya. "Selain mencekik siswa dan orang tua, juga memperdalam jurang
pemisah antara yang mampu dan yang tidak," tegasnya. Sebenarnya tidak
semuanya menetapkan harga tinggi. Ada pula yang berusaha membuat tarif yang
relatif lebih terjangkau. AKRAMA yang berlokasi di Bandung misalnya, hanya
mengenakan tarif per paket (3 bulan pendidikan) Rp 180 ribu untuk setiap
guru utusan TK Al-Quran. Pengenaan harga yang lebih terjangkau itu tak lain
didorong pula oleh idealisme untuk menyebarkan pendidikan ini dikalangan
Muslim di berbagai lapisan masyarakat. Seperti dituturkan Direktur AKRAMA
Endis Firdaus MAg, pada mulanya pendidikan ini kurang mendapat respon dari
sekolah maupun kalangan Muslim.
Untuk usaha ini AKRAMA mendapat dukungan dari
Lembaga Pusat Pendidikan TK Al-Quran Badan Koordinasi Pemuda dan Remaja
Masjid Indonesia (LPPTKA BKPRMI) Jawa Barat, yang kemudian bekerjasama
untuk menyelenggarakan pendidikan guru MA bagi guru-guru TKA/TPA. "Pada
prinsipnya kami mendukung setiap kegiatan yang dapat meningkatkan ilmu
pengetahuan bagi anak-anak Muslim. Namun, sekarang masih terbatas untuk
guru-guru TKA/TPA di Jawa Barat. Ini pun belum semua daerah mengikuti
pendidikan sempoa mengingat keterbatasan tempat," kata Dadang Anwar, Wakil
Direktur LPPTKA BKPRMI Jawa Barat. Kini AKRAMA sedang mendidik dua angkatan
calon pengajar mental aritmatika yang siap diterjunkan kembali ke daerahnya
masing-masing.
Lembaga lain yang juga peduli terhadap gejala itu adalah Yayasan Pendidikan
Anak (PENA). Yayasan PENA memiliki lembaga pendidikan MA bernama Edukasi
Mental Aritmatika Soroban (EMAS), yang melayani dan kerjasama pendidikan MA
di daerah-daerah, khususnya sekolah Muslim dan pesantren, dengan lembaga
Mental Aritmatika Soroban (MAS) sebagai proyek percontohannya. Sampai saat
ini EMAS sudah memiliki cabang yang tersebar di kota-kota besar di Jawa.
Bahkan sudah banyak permintaan untuk membuka cabang di Sumatera, Sulawesi
dan Kalimantan. Untuk mempercepat penyebaran pendidikan MA, terutama di
kalangan Muslim, termasuk di daerah-daerah terpencil, manajer pemasaran
EMAS, Tati Resmiati menawarkan bentuk kerjasama. Untuk sekolah Islam atau
pesantren yang ingin mengakses pendidikan ini bisa mengirimkan gurunya
untuk dilatih oleh EMAS, "Kerjasama ini selain untuk memberdayakan guru di
sekolah yang bersangkutan, dari segi harga pun bisa disesuaikan dengan daya
beli masyarakat setempat," ujar alumni Jurusan Teknologi Pendidikan IKIP
Bandung ini kepada Sahid.
Tentu saja masyarakat membutuhkan pendidikan yang biayanya terjangkau tapi
kualitasnya tetap terjaga. Sebab belakangan muncul lembaga yang menawarkan
kursus ini dengan harga yang relatif murah, tapi kualitasnya tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Menurut sumber Sahid, kini telah ada lembaga atau
perorangan yang menawarkan pendidikan MA dengan biaya murah, namun
kelanjutannya tidak jelas. Paket pengajaran MA yang umumnya selesai
maksimal 10 tingkat, hanya diberikan dua atau tiga tingkat dengan operasi
penjumlahan dan pengurangan saja, padahal seharusnya ada perkalian,
pembagian dan sebagainya. Disamping itu, mereka juga tidak memiliki
kurikulum dan standar pendidikan yang sesuai dengan prinsip pengajaran MA.
Pengelola yang seperti itu jelas hanya ingin meraih keuntungan materi
saja, bahkan ada kecenderungan terjadi penipuan. Seorang ibu yang tak ingin
disebut namanya pernah menyampaikan keluhan kepada Sahid. Ia mengikuti
pelatihan pada sebuah kursus pendidikan guru MA. Sayangnya, ia mendaftar
pada lembaga yang tidak becus, sehingga hanya mendapat sebagian kecil dari
paket pelajaran yang seharusnya. Akibatnya, ia kebingungan untuk
melanjutkan materi yang diberikan kepada siswanya. "Saya sekarang bingung,
karena materi yang saya berikan kepada anak-anak sudah habis, sementara
saya belum tahu kelanjutan paket sempoa ini," sesalnya.
Mudah-mudahan keluhan ibu guru malang itu tidak banyak terulang pada yang
lainnya. Sebab menurut perkiraan Endis Firdaus, lima tahun mendatang MA
akan masuk dalam kurikulum sekolah. "Pendidikan mental aritmatika saat ini
sedang mengalami booming dan masih terasa eksklusif. Tapi mungkin untuk
lima tahun mendatang ada penurunan kuantitas bagi pihak pengelola apabila
pemerintah sudah memasukannya ke dalam kurikulum sekolah," katanya kepada
Sahid.
Meski saat ini belum ada tanda-tanda Depdiknas memasukkan metoda MA ini ke
kurikulum sekolah, tapi saat ini sudah ada beberapa sekolah yang memasukkan
materi kursus MA sebagai kegiatan ekstrakulikulernya, sehingga menjadi
salah satu daya tarik bagi orangtua untuk menyekolahkan anaknya di sekolah
yang bersangkutan. Sekolah tersebut antara lain SD Plus AlGhifari di
Bandung dan SD Ta'mirul Islam di Solo. Langkah yang menarik untuk ditiru
sekolah Islam lainnya. Sebab, seperti kata Nabi, "Tuntutlah ilmu hingga ke
negeri Cina." Sekarang ilmu dari Cina telah datang ke negeri ini. Tunggu
apa lagi?


0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More