Senin, 04 April 2011

Vox Populi, Vox Dei

VOX POPULI, VOX DEI. Saya rasa sampai kapanpun di alam modern bahkan postmodern kata-kata ini akan tetap relevan. Apalagi di tengah mekarnya alam demokrasi di negeri ini. Suara Rakyat adalah suara Tuhan. Suara rakyatlah yang mestinya menjadi penuntun setiap perilaku dan tujuan dari proses rekrutmen politik.

Para wakil rakyat di lembaga parlemen semestinya sadar benar tentang pernyataan itu. Betapa tidak, setiap mereka yang belajar politik dan demokrasi, pasti sadar bahwa rakyatlah yang memegang suara. Lantas, bagaimana jika pemilik suara ini dinisbikan, dikucilkan, dan dianggap tida ada? Mungkin inilah awal dari sebuah pengingkaran hakikat dasar demokrasi.

Jika kita membaca pernyataan elite di DPR yang menyatakan rakyat "jelata" tidak perlu dilibatkan dalam setiap pembahasan di gedung DPR termasuk rencana pembangunan gedung megah di Senayan, sungguh sangat disesalkan. Bagaimanapun mereka sekarang duduk di kursi DPR karena memegang mandat dari rakyat. Mereka dipilih oleh rakyat untuk mewakili aspirasinya. Mereka pun mestinya perlu berempati atas kondisi real rakyat negeri ini. Bukan sebaliknya, atas nama "proyek" semuanya dikalahkan.

Saat membaca literatur Teori Politik Klasik, tentu pancaindera kita salah satunya akan tertuju pada Plato. Tokoh ini selalu mengedepankan adanya keselarasan kepentingan antara orang-orang dengan negara atau masyarakat, tetapi keselarasan itu menurut pendapatnya bukanlah dengan menyamakan kepentingan negara ini dengan kepentingan orang seorang, melainkan sebaliknya, yaitu kepentingan orang seoranglah yang harus disesuaikan dengan kepentingan masyarakat. Dengan demikian Plato lebih cenderung untuk menciptakan adanya rasa kolektivisme, rasa bersama, dari pada penonjolan pribadi orang-seorang.

Plato pun selalu menekankan pentingnya sebuah kebajikan. Para penguasa harus memiliki moral dan kebajikan itu. Tak heran jika Negara dalam pandangan Plato adalah negara yang para pemimpinnya penuh dengan kebajikan.

Hal ini tentu sedikit berkebalikan dengan Machiavelli. Dia diidentifikasikan sebagai seorang yang menganjurkan untuk mengesampingkan nilai-nilai moral untuk dapat mempertahankan kemegahan dan kekuasaan. Machiavelli berpendapat bahwa nilai-nilai yang tinggi, atau yang dianggap tinggi, adalah berhubungan dengan kehidupan dunia, dan ini dipersempit pula hingga kemasyhuran, kemegahan, dan kekuasan belaka.

Lantas bagaimana dengan sikap elit DPR yang bergeming untuk terus membangun gedung megah untuk dirinya, sementara rakyat masih menjerit dan cenderung belum siap menerima pembangunan itu? Mungkin disinilah ada hal yang tidak nyambung. Mungkin antara perkataan dan perbuatan tidak ada kesamaan.

Ataukah sikap-sikap yang cenderung mengadopsi pemikiran politik Machiavelli, yang bangga akan kemasyuran, kemegahan, dan kekuasaan tengah mekar? Sungguh suatu hal yang sangat disayangkan. Ataukah kemunduran demokrasi tengah terjadi? Karena konon --menurut Ulil Abshar Abdalla-- berdasarkan studi demokrasi di berbagai negara, jika PDB per kapita suatu negara mencapai USD6.000, maka demokrasi tidak akan setback. Jika PDB perkapita negara kita masih USD3.000, tentu demokrasi di negeri ini masih sangat rawan sekali.

Rencana pembangunan gedung DPR dan pernyataan elit wakil rakyat yang menyebutkan rakyat "jelata" tak perlu diajak bicara tentu menjadi tamparan di tengah buruknya kinerja para wakil rakyat itu. Selama ini, para wakil rakyat, belum bisa sepenuhnya memenuhi aspirasi konstituennya.

Kini semua berpulang kepada hati para wakil rakyat yang terhormat. Apakah mereka akan tetap memaksakan keinginannya membangun "rumah rakyat" yang megah itu, ataukah akan menunda untuk beberapa saat, sampai rakyat negeri ini paham dan legowo, bahwa memang sudah sepantasnya wakil-wakil mereka mendapatkan ruang dan gedung yang lebih baik.

Tanpa bermaksud menggurui, sebaiknya pemikiran Plato bisa dipilih daripada pemikiran Machiavelli.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More