Rabu, 27 April 2011

Kartini: Bangkitkan Suara Subaltern

Kamu tahu motto hidupku? ‘aku mau’. Dua kata sederhana ini telah membawaku melewati gemunung kesulitan. ‘Aku tidak mampu’ berarti menyerah. ‘Aku mau!’ mendaki gunung itu.

Begitu Kartini mengatakan pada Stella Zeehandelaar dalam suratnya tertanggal 23 Agustus 1900. Motto ‘aku mau’ bukan tanpa makna. ‘Aku mau’ menunjukkan keinginan keras Kartini untuk mengubah situasi dan kondisi Indonesia yang saat itu terbilang cukup memprihatinkan: marjinalisasi terhadap perempuan dan kondisi kolonialisme.

Sebagai pejuang, Kartini sebenarnya berdiri sendiri, tanpa didukung oleh organisasi massa yang waktu itu memang belum lahir. Dalam konteks ini, Kartini adalah tokoh perempuan yang mewakili suara perempuan yang tertindas, subordinat, dan nonhegemonik (subaltern).

Tulisan singkat ini bermaksud untuk membangkitkan kembali suara Kartini yang waktu itu terbungkam oleh  kondisi dan tradisi, baik itu kondisi kolonialisme ataupun tradisi Jawa dan ajaran Islam. Harapannya yakni dapat terwujud, apa yang diistilahkan oleh Gayatri Spivak sebagai, ‘one-on-one epistemic change’.

Suara Subaltern

Penggunaan istilah ‘subaltern’ pertama kali digunakan oleh pemikir Marxis kenamaan asal Italia Antonio Gramsci untuk merujuk pada kaum petani asal desa Italia Selatan, yang pencapaian kesadaran sosial dan politiknya terbatas dan kesatuan politik mereka lemah. Dalam bukunya yang berjudul Prison Notebook (1929-1935), Gramsci memakai istilah ‘subaltern’ secara bergantian dengan ‘subordinat’ dan ‘instrumental’ untuk menggambarkan petani tersebut sebagai kelompok atau kelas yang non-hegemonik.

Dengan mengacu pada terminologi Gramsci tentang ‘subaltern’, Kartini dapat disebut sebagai tokoh subaltern meskipun dikenal sebagai anak dari keluarga bangsawan. Mengapa? Karena sebagai anak gadis yang dipingit, lalu dinikahkan secara paksa (subordinat), Kartini tidak hanya berdiam diri. Kartini melawan itu semua, bersuara melawan kesepian karena pingitan, bersuara melawan arus kekuasaan besar penjajahan dari dinding tebal kotak penjara Kabupaten yang menyekapnya bertahun-tahun. Kartini tidak punya massa, apalagi uang. Uang tidak akrab dengan perempuan  hamba seperti Kartini. Yang dipunyai kartini adalah kepekaan dan keprihatinan dan ia tulislah segala perasaannya yang tertekan itu (Lentera Dipantara, 2003).

Seperti Gramsci dalam Prison Notebook, kartini juga meninggalkan catatan-catatan dalam bentuk korespondensi untuk mengungkap perasaannya tersebut.

Dalam korespondensinya dengan Stella Zeehandelaar (1899-1903), Kartini menulis banyak hal tentang kondisi Indonesia kala itu. Salah satu yang paling menonjol dalam korespondensinya tersebut, adalah ulasannya tentang poligami dan kritiknya terhadap kolonialisme.

Meskipun hidup dalam tradisi bangsa Indonesia yang menempatkan perempuan selalu berada di bawah laki-laki, Kartini justru memberontak. Dalam hal poligami misalnya, Kartini secara tegas menolaknya, meskipun ajaran Islam membenarkan hal tersebut. Dalam suratnya kepada Zeehandelaar (6 November 1899), Kartini dengan kritis mengatakan: “Aku tidak akan pernah, tidak akan pernah bisa mencintai. Bagiku, untuk mencintai, pertama kali kita harus bisa menghargai pasangan kita. Dan itu tidak kudapatkan dari seorang pemuda Jawa. Bagaimana aku bisa menghargai seorang laki-laki yang sudah menikah dan sudah menjadi seorang ayah? Yang hanya karena dia sudah bosan dengan isterinya yang lama, dapat membawa perempuan lain ke rumah dan mengawininya? Ini sah menurut hukum Islam. Kalau seperti ini, siapa yang tidak mau melakukannya? Mengapa tidak? Ini bukan kesalahan, tindak kejahatan ataupun skandal; Hukum Islam mengijinkan laki-laki beristeri empat sekaligus. Meski banyak orang mengatakan ini bukan dosa, tetapi aku, selama-lamanya akan tetap menganggap ini sebagai sebuah dosa”.

Begitupula dalam hal kolonialisme, Kartini tetap bersuara kritis. Melihat rakyat yang hidup dalam kemiskinan,  beban pajak yang tinggi, di tambah lagi dengan pengaruh opium yang merusak para generasi muda akibat kolonialisme, Kartini lantas melontarkan kritik pedasnya pada orang-orang kolonial: “..Dan masih juga, sejumlah orang Belanda mengumpati Hindia sebagai ‘ladang kera yang mengerikan. ‘Aku naik pitam jika mendengar orang mengatakan Hindia yang miskin. Orang mudah sekali lupa kalau negeri kera yang miskin ini telah mengisi penuh kantong kosong mereka dengan emas saat mereka pulang ke Patria setelah beberapa lama saja tinggal di sini” (Vissia Ita Yulianto, 2004).

Itu semua adalah contoh tulisan dari seorang subaltern: Kartini yang peduli terhadap nasib rakyat dan perempuan (subordinat). Tulisan itu telah memberikan wujud pedagogis bagi perempuan untuk melawan segala bentuk ketidakadilan dan kekerasan.

One-on-one Epistemic Change

Hari Kartini bukan sekedar untuk di selebrasikan, tapi juga untuk dimaknai dan diktualisasikan. Kartini melalui tulisannya (surat-suratnya) telah memberikan semacam pedagogis yang menyokong banyak pemikiran bagi para kaum subaltern (subordinat).

Melalui tulisan-tulisanya yang bernuansa pedagogis, secara tidak sengaja, Kartini telah menyediakan ruang bagi apa yang disebut oleh Gayatri Spivak sebagai ‘one-on-one epistemic change’. Maksudnya adalah, tulisan-tulisan Kartini secara tidak sengaja, telah melatih para perempuan satu demi satu dengan harapan ketika ada yang memobilisasi mereka, mereka akan lebih bisa dimobilisasi dengan lebih sukses dan lebih kritis. Disitulah letak perubahan yang dimaksud.

Dengan begitu, para perempuan nantinya mampu mengidentifikasi dan mempertanyakan sistem representasi politik dominan (yang umumnya didominasi oleh kaum laki-laki), yang membungkam dan mengeksklusi mereka karena kedudukan kelas mereka.

Sebagai contoh dari bentuk one-on-one epistemic change dapat kita liat dari upaya para aktivis dan organisasi-organisasi perempuan yang menuntut kuota 30 % keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Meskipun belum mencapai sasaran kuota 30 %, tapi upaya tersebut telah berhasil meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan di parlemen: Jika pada tahun 2004 anggota DPR hanya berjumlah 61 orang, maka pada pemilu 2009 jumlah anggota DPR-RI perempuan meningkat menjadi 101 orang (18.04 persen) dari 550 anggota DPR. Begitupula pada tingkat DPD, jika pada tahun 2004 anggota DPD hanya berjumlah 26 orang, maka pada pemilu 2009 jumlah anggota DPD perempuan mengalami peningkatan menjadi 34 orang (27,27 persen) dari 132 anggota DPD.

Tapi sayang perubahan ini (one-on-one epistemic change) tidak terjadi pada kasus kekerasan terhadap perempuan. Komisi Nasional Perempuan mencatat, 105.103 perempuan Indonesia telah menjadi korban kekerasan pada tahun 2010. Jumlah itu merupakan akumulasi kasus yang ditangani 384 lembaga penyedia layanan tentang kasus kekerasan di ranah personal, di ranah publik, dan di ranah negara (Tempo, 8 Maret 2011).

Kekerasan itu terjadi disebabkan karena masih minimnya kesadaran pedagogis perempuan awam untuk melawan segala bentuk kekerasan.

Dan ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Yustina Rostiawati, Komisioner Komnas Perempuan, bahwa banyak perempuan korban kekerasan tidak melaporkan kasusnya sehingga jumlah kasus yang ditangani menurun. Penyebabnya antara lain sulitnya korban mendapat dukungan dari orang-orang terdekatnya, rasa malu maupun trauma, dan keterbatasan mengakses layanan yang tersedia (Tempo, 8 Maret 2011).

Untuk itu, ke depannya, kesadaran pedagogis perempuan yang diwariskan oleh Kartini diharapkan dapat menginspirasi atau membangkitkan para perempuan lainnya untuk melawan segala bentuk ketidakadilan dan kekerasan terhadapnya agar kondisi-kondisi tersebut tidak lagi terjadi atau minimal dapat mengurangi dampak ketidakadilan dan kekerasan tersebut terhadap perempuan. Semoga saja.

Asrudin
Analis media sosial di LSI Network

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More