Jumat, 08 April 2011

Berhenti Mengakui Mereka Wakil Rakyat

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali mendapat sorotan tajam publik. Kali ini hal itu dipicu oleh rencana pembangunan gedung baru DPR. Sebagaimana dilansir Sekretariat Jenderal DPR, pembangunan gedung 36 lantai itu diperkirakan akan menelan dana sebesar Rp1,164 triliun. Anggaran itu terdiri dari pembangunan fisik gedung sebesar Rp1,138 triliun dan ongkos konsultasi sebesar Rp26,491 miliar. Sungguh sebuah nominal harga yang sangat sulit dicerna oleh rasionalitas publik.

Meskipun kritik datang menerpa tanpa henti, tetapi pimpinan DPR tidak menunjukkan gelagat untuk mengambil inisiatif penghentian rencana pembangunan gedung baru tersebut. Alih-alih melakukan penghentian, kini proses tender pun telah dimulai. Publik tentu patut miris melihat kinerja dan kelakuan para wakil mereka di parlemen.

Sejatinya DPR dapat menjadi sebuah lembaga negara yang berwibawa dan terhormat melalui peningkatkan sisi sensitivitas para anggotanya. Faktor utama penyebab rendahnya sisi sensitivitas para anggota dewan dapat ditelaah dalam dua kemungkinan.

Pertama, sebagian besar anggota dewan agaknya masih belum dapat menghalau citra DPR di masa lalu sebagai sebuah institusi politik yang sangat inferior di hadapan lembaga eksekutif. Ketika era Orde Baru DPR dipandang sebagai institusi politik yang lemah akibat terlampau dominannya lembaga eksekutif sehingga DPR mengalami perasaan rendah diri di hadapan publik. Kini, setelah saluran demokrasi terbuka dan terjadi penambahan kewenangan politik, maka DPR pun mengalami euforia politik berlebihan hingga lupa diri.

Kedua, kewenangan besar yang dimiliki oleh DPR dewasa ini secara tidak langsung telah membuat para anggota dewan cenderung bersikap acuh tak acuh terhadap aspirasi publik. Sebagaimana kita ketahui bersama, melalui empat tahap amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, kini DPR telah menjelma menjadi sebuah lembaga yang memiliki kewenangan sangat besar. Hal itu antara lain terlihat jelas dalam beberapa pasal hasil amandemen, seperti pasal 19, pasal 20, pasal 20 A, pasal 21, pasal 22, pasal 22 A, dan pasal 22 B.


Sulit dimungkiri bahwa sesungguhnya sumbu utama kekuasan DPR bukanlah berada di daerah pemilihan tempat para anggota dewan tersebut berasal, melainkan berada di kantor dewan pimpinan pusat (DPP) masing-masing partai politik. Partai politik telah menjadikan DPR sebagai the site of power struggle bagi segala kepentingan mereka. Loyalitas para anggota dewan kepada elite pimpinan partai politik pun menjadi jauh lebih tinggi ketimbang loyalitas kepada konstituen mereka di daerah pemilihan.

Karena itu, tidak mengherankan bila berbagai kritik publik terhadap kinerja DPR tidak kunjung mendapat tanggapan memuaskan. Jika diletakkan dalam konteks kehidupan kepartaian di Indonesia, kelakuan memalukan yang dipertontonkan oleh para anggota dewan tentu sangat terkait erat dengan masalah rekrutmen yang dilakukan oleh partai politik selama ini. Bukan perkara sulit untuk tampil menjadi seorang anggota legislatif di negara yang masih memuja euforia politik seperti Indonesia saat ini.

Keengganan partai politik untuk menjadikan aspek intelektualitas, kompetensi, dan etika sebagai parameter utama perekrutan calon legislatif (caleg) turut memberikan andil bagi terpilihnya orang-orang yang tidak memiliki etika dan kualitas kompetensi memadai sebagai anggota legislatif. Hal itu diperparah dengan minimnya informasi tentang rekam jejak si caleg yang dapat diakses oleh masyarakat luas pada masa kampanye lalu.

Kesalahan partai politik dalam proses perekrutan caleg inilah yang kemudian mendorong munculnya gugatan publik terhadap kualitas intelektualitas, kompetensi, dan etika para anggota dewan. Realitas itu seakan kian menegaskan penilaian publik selama ini bahwa partai politik lebih cenderung mengutamakan aspek ketokohan dan kemampuan finasial semata dalam dalam melakukan perekrutan caleg. Karena itu, hemat penulis, segala upaya untuk melakukan pembenahan terhadap DPR tidak akan membuahkan hasil maksimal tanpa melakukan hal serupa di tubuh partai politik.

Terkait hal itu kita perlu memberikan apresiasi kepada sejumlah partai politik yang berani mengambil sikap menolak rencana pembangunan gedung baru DPR pada rapat paripurna beberapa waktu lalu. Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Gerindra tercatat sebagai partai yang secara tegas berani mengambil sikap tersebut. Sebagai partai politik yang lahir dari rahim gerakan reformasi PAN dituntut untuk berani tampil di garda terdepan dari segala upaya perbaikan citra DPR di mata publik.

Perbaikan citra DPR di hadapan publik memiliki arti penting bagi keberlangsungan kehidupan demokrasi kita. Citra DPR yang terus mengalami kemerosotan akan mempercepat kebangkrutan demokrasi di Indonesia. Jika DPR tidak segera menyadari hal itu, maka apa boleh buat mungkin sudah saatnya bagi kita untuk berhenti mengakui mereka sebagai wakil rakyat.

BAWONO KUMORO
Peneliti Politik The Habibie Center dan Fellow Paramadina Graduate School of Communication

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More