Rabu, 06 April 2011

Otak-Atik Pasal, Harmonisasi atau Melemahkan


RENCANA Pemerintah melakukan perubahan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Nomor 31 Tahun 1999 juncto Nomor 20 Tahun 2001 menuai badai kritik pedas dari publik. Tak pelak, publik pun semakin meragukan niat pemerintah membumi hanguskan koruptor.

Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia merumuskan kembali RUU merujuk pada United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang berlaku secara global tanpa melihat maraknya kasus korupsi di suatu negara. Tujuannya agar terjadi harmonisasi hukum positif di Indonesia dengan instrumen hukum internasional yang saat ini berlaku.

Bukan itu masalahnya, yang menjadi perbincangan publik terdapat sembilan norma yang dilemahkan dalam RUU tersebut. Kelayakan Menkum HAM Patrialis Akbar dalam memberantas korupsi seakan menjadi tanda tanya. Sekadar mengingatkan, Patrialis sempat memberikan grasi kepada terpidana kasus korupsi Syaukani Hasan Rais hanya dengan pertimbangan kemanusiaan. Syaukani yang divonis enam tahun penjara karena diduga menderita sakit.

"Saya melihat komitmennya begitu rendah dalam hal pemberantasan korupsi, remisi diobral. RUU diutak-atik, belum lagi kasus penjara sebenarnya kami melihat tidak ada kerja positif (Patrialis) untuk perbaikan penegakan hukum yang benar ditorehkan sejak dilantik," tegas Peneliti Hukum ICW Donal Fariz kepada okezone di Jakarta, baru-baru ini.

Jika RUU Tipikor tetap dipaksakan seperti itu, rencana pemberantasan korupsi tentu hanya sebuah pemanis saat masa-masa kampanye. Penjara yang nampaknya tidak lagi memberikan efek jera para koruptor. Kemudian diusulkan pemiskinan terhadap, koruptor namun lagi-lagi hanya diamini oleh pemerintah tanpa ada wujud nyata.

Dengan kepemilikan uang, fasilitas mewah sering kali masih didapat para terpidana korupsi yang mendekam di balik jeruji besi. Masih ingatkah terpidana suap Jaksa Urip Tri Gunawan, Artalita Suryani yang dituntut lima tahun penjara? Perempuan yang biasa dipanggil Ayin tersebut malah asyik dengan penjara mewahnya.

Menurut data yang dilansir ICW, sepanjang 2010 ada 660 kasus korupsi yang diberikan keringanan hukuman. Pada semester I 2010 ada 54,82 persen terdakwa kasus suap divonis bebas. Di sisi lain, banyak juga trend vonis ringan setelah menjalani hukuman pun masih diberikan remisi besar-besaran. "Pemberian remisi hak pemerintah. Tapi siapa yang menjadi kontrol dari pemberian remisi itu apakah ada jaminan tidak akan disalahgunakan oleh kelompok tertentu yang berkuasa kepada kroninya," tegas Donal.

Apakah ada upaya pihak tertentu berusaha memengaruhi pemerintah agar melakukan revisi UU Tipikor? Donal mengatakan, dirinya tidak ingin mereka-reka. Saat ini yang terlihat jelas adalah sikap pemerintah tidak serius memberantas korupsi. "Kalau pemerintah mau memberantas korupsi, action menuntaskan banyaknya kasus yang tertunda penanganannya seperti BLBI, Century, mafia pajak Gayus Tambunan, dan rekening gendut perwira Polri. Fokus dulu pada penuntasan, jangan mengutak-atik sesuatu (UU) yang relatif masih cukup baik dan layak dipertahankan," pintanya.

Dengan alasan mengadopsi Konvensi PBB, United Nation Against Corruption (UNCAC) 2003, Pemerintah Indonesia melakukan sejumlah perubahan pasal-pasal dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001. Alasannya, terkait harmonisasi hukum positif nasional dengan standar internasional agar memudahkan pemberantasan korupsi yang sudah bersifat lintas negara.

Sayangnya, dalam RUU Tipikor tersebut bukan penguatan malah memperlemah pemberantasan korupsi. Tak ayal, rencana tersebut mendapat kritik tajam dari publik. Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat ada sembilan norma yang melemah dalam RUU tersebut. Publik pun menganggap rencana Pemerintah memberantas korupsi hanya sebatas pemanis demi merebut simpati masyarakat.

Berikut sembilan norma dalam draf RUU Tipikor yang dianggap ICW melemahkan pemberantasan korupsi dibanding UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001:
1. Menghilangkan ancaman hukuman mati yang sebelumnya diatur di Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999

2. Menghilangnya Pasal 2 yang paling banyak digunakan aparat penegak hukum dalam menjerat koruptor. Tampaknya ada miss-interpretasi dari penyusun RUU yang mengatakan bahwa UNCAC tidak lagi menganut prinsip tentang kerugian keuangan negara, sehingga RUU Tipikor tidak perlu mengatur soal penyelamatan kerugian negara tersebut. Hal ini tentu akan merugikan pemberantasan korupsi di Indonesia yang sebagian besar masih menekankan pada perampokan aset negara atau keuangan negara.

3. Hilangnya “ancaman hukuman minimal” di sejumlah pasal. Padahal, ketentuan tentang ancaman hukuman minimal ini adalah salah satu ciri dari sifat extraordinary korupsi di Indonesia. ICW menemukan tujuh pasal di RUU Tipikor yang tidak mencantumkan ancaman hukuman minimal, seperti: penggelapan dana bencana alam, pengadaan barang dan jasa tanpa tender, konflik kepentingan, pemberi gratifikasi dan pelaporan yang tidak benar tentang harta kekayaan.

4. Penurunan “ancaman hukuman minimal” menjadi hanya 1 tahun. Hal ini dikhawatirkan dapat menjadi pintu masuk untuk memberikan hukuman percobaan bagi koruptor.Bandingkan dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 yang memiliki ancaman hukuman minimal bervariasi tergantung jenis kejahatan, yaitu: 1 tahun, 2, 3 dan bahkan 4 tahun untuk korupsi yang melibatkan penegak hukum dan merugikan keuangan negara.

5. Melemahnya sanksi untuk mafia hukum, seperti suap untuk aparat penegak hukum. Di UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001, suap untuk penegak hukum seperti hakim ancaman minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Sedangkan di RUU Tipikor ancaman minimal hanya 1 tahun dan maksimal 7 tahun (ditambah 1/3) atau sembilan tahun.

6. Ditemukan pasal yang potensial mengkriminalisasi pelapor kasus korupsi.

7. Korupsi dengan kerugian negara dibawah Rp25 juta bisa dilepas dari penuntutan hukum (Pasal 52). Meskipun dalam klausul tersebut disebutkan pelepasan dari penuntutan hanya dilakukan setelah uang dikembalikan dan pelaku mengaku bersalah. Hal ini tetap saja dapat dinilai sebagai bentuk sikap kompromi terhadap koruptor. Kasus korupsi tidak bisa dinilai hanya dari nilai uang, melainkan harus dilihat dari unsur jahat dan busuknya perbuatan. Di pedesaan misalnya, korupsi Rp25 juta sangat merugikan masyarakat jika itu berbentuk korupsi pupuk, beras, jaminan kesehatan, dan korupsi kecil lainnya. Hal ini dikhawatirkan akan membuat korupsi kecil-kecilan yang terjadi di pelayanan publik akan semakin marak.

8. Kewenangan penuntutan KPK tidak disebutkan secara jelas dalam RUU (Pasal 32). Padahal di Pasal UU yang berlaku saat ini sebelumnya posisi KPK sebagai penyidik korupsi disebutkan secara tegas. Hal ini harus dicermati agar jangan sampai menjadi celah untuk membonsai kewenangan penuntutan KPK.

9. Tidak ditemukan dalam RUU Tipikor aturan seperti Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 yang mengatur tentang pidana tambahan, pembayaran uang pengganti kerugian negara, perampasan barang yang digunakan dan hasil untuk korupsi, penutupan perusahaan yang terkait korupsi.

Ahli hukum pidana Muladi nampaknya sepakat dengan apa yang dikatakan ICW. RUU Tipikor mempunyai titik kelemahan, lantaran tidak adanya pidana mati bagi koruptor.

Muladi membenarkan Indonesia harus meratifikasi konvensi PBB antikorupsi tahun 2003. Namun untuk menambah atau mengubah konvensi PBB tersebut harus disesuaikan dengan kondisi hukum Indonesia saat ini. "Itu salah satu kesalahan besar dari RUU Tipikor, korupsi tidak lagi dianggap high ordinary crime," tandas Muladi.

Menanggapi norma pelapor korupsi bisa saja dikriminalisasikan bila laporannya tidak terbukti, menurutnya hala itu ada baiknya untuk mendidik masyarakat agar bertanggung jawab. Melaporkan sesuatu dengan bukti yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan, jika tidak apa yang dilaporkan bisa menjadi fitnah.

Tapi, lanjut mantan Gubernur Lemhanas itu, aparat penegak hukum juga tidak bisa menelan mentah-mentah laporan masyarakat. Laporan dimasukkan tak terbukti kemudian pelapor dituntut. "Harus ada perlindungan terhadap partisipasi masyarakat."

Muladi mengatakan, Indonesia memang harus tunduk kepada konvensi PBB, tujuannya untuk harmonisasi hukum. Sekalipun begitu, RUU Tipikor tersebut tidak harus sama dengan konvensi PBB. Masih bisa menambah norma diluar ratifikasi, contohnya tetap mencantumkan hukuman mati dan itu sah-sah saja bila dilakukan.

"Tetap disesuaikan dengan keadaan jadi elemen particularistik harus tetap ada. Seperti mau menghapuskan pasal 2 akibatnya banyak dikritik. kebijakan-kebijakan banyak yang dipidanakan, saya rasa tidak perlu dihapus hanya disempurnakan saja," ungkapnya.

Kabar KPK tidak dilibatkan dalam perumusan RUU Tipikor juga disesalkan Muladi. Menurut dia, beberapa unsur terkait harus ada saat perumusan RUU.
"Kalau membuat UU harus mendengar infrastruktur masyarakat dan suprastruktur. Suprastruktur temasuk KPK. Artinya, KPK harus didengar," tegasnya.

Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar membantah tuduhan ICW terkait draf revisi RUU Tipikor yang dianggap melemahkan KPK. "RUU Tipikor masih proses, terlalu dini kalau ada yang mengatakan ingin melemahkan. Justru ingin menguatkan dan ini harus membuat orang ngeri. Kalau ada yang mengatakan seperti itu mungkin komentar tidak lengkap dan apatis atau belum membaca sehingga komentar terpotong. Bacalah dulu konsepnya sehingga bisa berkomentar komprehensif,” ungkap Patrialis menjawab semua tudingan tersebut.

Dikatakan Patrialis, memang ada yang dibahas dalam draft tersebut untuk mengakomodir aturan-aturan. “Kalau Indonesia masih kenal hukuman mati. Korupsi mustahil bisa dihilangkan, kita hanya mengurangi dan mempersempit ruang korupsi di negara maju sekalipun tidak mungkin kita dihilangkan,” kata Patrialis.

Sementara itu, terkait soal pidana minimal, Patrialis mengatakan ada suatu nuansa di dalam RUU itu tidak hanya soal pidana tetapi perampasan harta termasuk pemberian denda yang cukup besar. “Jadi enggak usah khawatir hukuman mati memang ditiadakan tapi bukan berarti itu harga mati diratifikasi konvensi internasional,” kata Patrialis yang mengharapkan agar draft tersebut dibaca lengkap jangan sebagian dan langsung beri komentar di media.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More