Rabu, 06 April 2011

Saat Korupsi Lepas dari Extraordinary Punishment


DI SAAT banyaknya kasus tindak pidana korupsi yang sampai saat ini belum juga terselesaikan proses hukumnya, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemnkum HAM) berencana merevisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang berlaku saat ini, yakni UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001.

Draf RUU Tipikor sempat mampir ke meja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun Kemenkum HAM menarik kembali draf RUU itu menyusul maraknya kritikan dari publik. Dengan banyak pasal yang diubah maupun dihilangkan, dikhawatirkan pembasmian koruptor akan mandul. Boleh jadi korupsi akan tumbuh subur bak jamur di musim hujan.

Dalam RUU yang mengadopsi Konvensi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2003 itu dituding menyimpan banyak kelemahan. Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat ada sembilan norma yang melemah di RUU Tipikor dibanding UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001.

ICW menduga gelagat ini bukan cerita baru. Rencana pemerintah melakukan perubahan UU Tipikor sudah ada sejak Februari 2007. Bahkan waktu itu pemerintah juga sudah menyiapkan draf revisinya. "Alasannya, waktu itu upaya harmonisasi regulasi dengan ketentuan internasional karena Indonesia sudah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) melalui UU Nomor 7 Tahun 2006," ungkap Peneliti Hukum ICW Donal Fariz kepada okezone di Jakarta, baru-baru ini.

Kala itu kelemahan isi di RUU juga sudah tampak bahkan lebih banyak dari draf RUU sekarang. Ada sekira 20 norma yang melemah. Usaha untuk melakukan perubahan kembali hadir lagi di saat hiruk-pikuk pemberantasan korupsi tak kunjung terselesaikan. Banyaknya wakil rakyat yang tersandung kasus korupsi dan riuhnya politik yang sedang berkembang.

Bagi ICW kebijakan ini patut dipertanyakan. Berkaitan dengan ini, ICW memperhatikan dua hal yakni aspek substansi dan aspek dinamika politik hukum yang saat ini sedang berkembang. Alasannya, masih sama harmonisasi regulasi dengan ketentuan internasional. Sayangnya, draf RUU kali ini yang dikabarkan hanya hasil copy paste dari UNCAC justru tidak jelas ide untuk meratifikasi atau mengahrmonisasi dengan kesapakatan internasional. Padahal apa yang tertuang dalam UNCAC berlaku secara global dan tidak melihat kekhususan di negara tertentu.

"Dari aspek substansi, ICW mencatat setidaknya ada sembilan kemunduran atau kelemahan norma dalam RUU Tipikor dibandingkan UU No 31 Tahun 1999 juncto UU No 20 Tahun 2001 yang berlaku saat ini," kata Donal.

Beberapa ketentuan yang tersurat dalam draf RUU Tipikor seakan-akan ingin mengubah pemikiran bahwa korupsi bukan lagi tindak pidana yang luar biasa. Maka tidak diperlukan lagi extra ordinary punishment. "Dalam bahasa lain, kita melihat seolah-olah pemerintah tidak lagi melihat korupsi sebagai tindak pidana luar biasa," paparnya.

Donal mengambil contoh penghilangan pasal 2 UU Tipikor yang selama ini cukup ampuh untuk menjerat pelaku tindak pidana korupsi. Bunyi UU Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 2:

(1) "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan."

Pada kenyataannya dalam RUU yang baru ketentuan tersebut dilebur.
Dalam draf RUU Tipikor Pasal 2:
(1) Setiap orang yang menjanjikan, menawarkan, atau memberikan secara langsung atau tidak langsung kepada pejabat publik suatu keuntungan yang tidak semestinya untuk kepentingan pejabat itu sendiri, orang lain, atau Korporasi, supaya pejabat tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam pelaksanaan tugas jabatannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

(2) Pejabat publik yang meminta atau menerima secara langsung atau tidak langsung suatu keuntungan yang tidak semestinya untuk kepentingan pejabat itu sendiri, orang lain, atau Korporasi, supaya pejabat publik tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam pelaksanaan tugas jabatannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).

(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh hakim, ancaman pidananya ditambah dengan 1/3 (satu per tiga).

ICW mencatat setidaknya pada 2010, KPK berhasil menjerat 44 orang tersangka korupsi dengan pasal 2. Lainnya pasal-pasal suap dan ancaman hukuman pun banyak yang turun. Dalam pasal 2 maupun dalam ketentuan suap terhadap penegak hukum atau mafia hukum diancam dengan hukuman minimal empat tahun maksimal 20 tahun penjara denda minimal Rp250 juta maksimal Rp1 miliar, sekarang dalam RUU tersebut turun minimal 1 tahun maksimal tujuh tahun saja.

"Ini kan kemunduran dan tidak akan memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana korupsi. Apalagi beberapa ketentuan seperti remisi, grasi, pembebasan bersyarat masih seolah dipertahankan dan dipelihara pemerintah saat ini, padahal akses itu sebenarnya memberikan keringanan bagi pelaku tindak pidana korupsi," ungkap Donal.

Singkat kata, lanjutnya, tidak ada kondisi memaksa pemerintah untuk melakukan revisi RUU Tipikor. Diakui Donal memang UU Tipikor saat ini mempunyai beberapa kelemahan dibanding UNCAC, seperti belum tertuang norma tentang kekayaan pejabat negara yang tidak wajar. Namun secara substansi UU Nomor 31 tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 masih layak untuk dipertahankan dan belum ditemui kelemahan mendasar untuk dilakukan perubahan.

Ditinjau dari sisi politis, jika RUU ini disahkan sangat mungkin dimanfaatkan para politisi yang terjerat kasus korupsi. Cita-cita pemberantasan korupsi malah akan berbalik arah. Denyut nadi pemberantasan korupsi mungkin saja akan berhenti. Tidak ada jaminan DPR dan pemerintah akan memperkuat lembaga penegak hukum dan lembaga pemberantasan korupsi melalui UU. Apalagi banyaknya anggota DPR yang terjerat kasus korupsi. Di periode KPK jilid dua setidaknya 40 orang anggota DPR dijerat.

"Ke depan mereka akan semakin khawatir karena KPK bisa saja semakin banyak menjerat politisi Senayan. Maka dari itu momentum ini bisa saja dibajak orang-orang yang ingin KPK melemah," tegasnya lagi.

Selain ancaman hukuman yang menurun dan tergerusnya kasus korupsi sebagai extra ordinary crime, RUU Tipikor ini juga berpotensi menyuburkan korupsi di level bawah yang langsung bersentuhan dengan layanan publik. Pasal 52 RUU Tipikor yang menyebutkan bahwa, korupsi dengan nilai nominal Rp25 juta boleh dihentikan penuntutan sepanjang yang bersangkutan mengembalikan uang dan mengakui kesalahannya.

"Ini korupsi secara kecil-kecilan tapi dampaknya langsung ke masyarakat. Selain itu juga berpotensi membuka luasnya mafia hukum. Bukannya yang menentukan kerugian negara itu penegak hukum? Nanti dihitung kerugiannya Rp100 juta dianggap saja Rp25 juta, sisanya diatur secara damai. Ini sangat berpotensi terjadi sehingga mafia hukum berpotensi subur," ungkapnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More