Jumat, 01 April 2011

Revolusi Spiritual Ibarat Ontoseno & Wisanggeni

 Budayawan dari Fakultas Filsafat UGM, Prof.Dr.Damardjati Supadjar meluncurkan sebuah buku berjudul Sumurupa Byar-e:Menyingkap Rahasia Awal-Akhir.

Menurut Damardjati, buku setebal 101 halaman ini berisi pemikirannya mengenai persoalan ketuhanan dan keagamaan, ideologi Pancasila dan filosofi hingga masalah aktual pendidikan.

“Buku ini merupakan kumpulan tulisan saya seperti di kegiatan diskusi, seminar maupun ceramah,” kata penyunting buku dari Pusat Studi Pancasila UGM, Heri Santoso, di Pusat Studi Pancasila UGM, belum lama ini.

Heri memaparkan, beberapa pemikiran Damardjati yang ditulis dalam buku itu antara lain mengenai gagasan ide revolusi spiritual, maupun revolusi tanpa huru-hara dan berdarah.

Kumpulan tulisan tersebut kata Heri sekaligus menunjukkan keaktifan menulis Damardjati yang saat ini usianya sudah menginjak 71 tahun.

“Revolusi spiritual akan berhasil jika dilakukan oleh kaum muda yang diibaratkannya sebagai ontoseno dan wisanggeni seperti di kisah pewayangan,” katanya.

Buku berjudul Sumurupa Byar-e tersebut ujar Heri juga menjadi salah satu buku rujukan untuk memberikan gambaran tentang pemikiran Prof. Supadjar dalam melihat gambaran kehidupan manusia dari hakekat sampai marifat menjadi perbincangan menarik.

Dalam konsep Awal-akhir, Lahir-Batin Prof. Padjar memaparkan dalam perspektif filsafat organisme/filsafat proses yang memandang semesta berstruktur (lahir-batin) dan berproses (awal-akhir).

Gaya bahasa yang unik dan terkadang sulit dipahami oleh orang awam menjadikan isi buku Sumurupa Byar-e harus dibaca berulang-ulang. Tidak hanya itu saja setiap kata dengan berbagai tanda yang menyertainya tidak semata-mata ada sebagaimana adanya tetapi penuh makna dan arti di balik kata-kata dan tulisan yang ada.

Di tempat sama Damardjati mengatakan tentang pandangan hidup kebudayaan Jawa tentang kehidupan. Setiap manusia harus melalui proses mijil (lahir), kemudian mengalami asmorodono (jatuh cinta) dengan pasangannya, sinom perdopo dan maskumbang asmoro. Lalu meningkat lagi ke dhandhanggulo.

 “Melalui proses ini kita bisa membedakan mana gula dan mana manisnya. Lewat durma, pangkur, gambuh sebelum dipocong atau megat ruh yakni meninggal dunia sebelum meninggal dunia,” urai Damardjati.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More