Kamis, 05 November 2009

Burhanuddin Muhtadi, Pilih Akademisi Ketimbang Politisi



SEJAK dihelatnya Pemilu 2009 lalu, nama Burhanuddin Muhtadi kerap muncul di berbagai media baik cetak, online, ataupun elektronik. Analisisnya yang tajam dan pemikirannya yang cerdas membuat pria kelahiran Rembang 15 Desember 1977 ini kerap muncul menjadi narasumber berbagai media massa.

Burhan dibesarkan dari keluarga kalangan Nahdliyin. Sejak duduk di sekolah dasar, Burhan terbilang siswa yang cerdas dan menjadi salah satu murid yang berhasil meraih Nilai Ebtanas Murni (NEM) tertinggi di Kabupaten Rembang. Namun, harapannya melanjutkan sekolah ke SMP favorit harus kandas karena keluarganya lebih berharap Burhan mengeyam pendidikan di Madrasah Tsanawiyah Mualimim Mualimat NU yang dikelola ayahnya.

"Kemudian saya melanjutkan sekolah ke Madrasah Aliyah Negeri Program Khusus (MAPK) di Surakarta. Pesantren tersebut merupakan "proyek intelektual" Pak Munawir Sadzali (mantan Menteri Agama). Pendidikan yang diberikan di MANPK adalah perpaduan antara sistem salaf dan modern," ujar Burhan saat berbagi kisah dengan okezone belum lama ini.

Setelah itu, Burhan memutuskan hijrah ke Jakarta untuk menjadi mahasiswa di IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang UIN). Keputusan Burhan itu disebabkan karena dirinya kerap membaca buku yang ditulis para akademis lulusan IAIN Jakarta seperti Quraish Shihab, Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Komarudin Hidayat, Bahtiar Effendy, Nasarudin Umar, dan sebagainya.

"Awalnya Bapak kurang setuju saya kuliah di IAIN karena hidup di Jakarta sangat mahal. Karena itu, saya harus rajin menulis untuk meringankan beban hidup. Alhamdulillah, sewaktu ospek belum dimulai artikel saya sudah dimuat di salah satu Koran berjudul Era Keterbukaan Pasca Insiden 27 Juli," Setelah itu ratusan artikelnya dimuat di pelbagai media massa seperti Kompas, Media Indonesia, Koran Sindo, Republika, Suara Pembaruan, dan lain-lain.

Selama menjadi mahasiswa Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin, IAIN Jakarta, Burhan aktif di berbagai organisasi seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci). Bahkan, dia terpilih sebagai Ketua Umum BEM IAIN 2000-2001 melalui pemilu raya mahasiswa.

"Sekalipun menjadi aktivis di kampus, saya tidak melupakan studi formal di kampus. Alhamdulillah, saya lulus dari IAIN dengan cepat dan nilai IPK saya terbaik se-Fakultas Ushuluddin dan kedua terbaik se-UIN dengan IPK 3,73," tandasnya.

Saat gelar sarjana diraih, Burhan tidak bisa berleha-leha. Dia harus mencari nafkah karena sudah menjadi kepala keluarga sejak usia 23 tahun. "Saya menikahi Rahmawati (istrinya) sebelum saya wisuda. Dia tidak mengenal konsep pacaran, makanya kita putuskan untuk menikah. Saat itu, Cak Nur yang memberikan khutbatun nikah," tukasnya.

Burhan pun mengabdikan diri menjadi dosen tenaga honorer mengajar sosiologi dan civic education di Fakultas Dakwah UIN Jakarta. Selain itu, dia juga aktif melakukan riset bersama Saiful Mujani dan kawan-kawan di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM). Pada 2001, burhan mendirikan Jaringan Islam Liberal bersama Ulil Abshar Abdala, Luthfi Assyaukanie, Akhmad Sahal dan lain-lain.


Hari demi hari Burhan menjalankan aktivitasnya sebagai aktivis dan peneliti. Hingga akhirnya, Burhan mendapat kesempatan mengambil gelar master di Australia setelah mendapatkan beasiswa dari pemerintah Negeri Kangguru tersebut. Burhan pun kembali hijrah bersama isterinya selama dua tahun untuk belajar di Australian National University (ANU). Nilai kuliahnya di ANU termasuk salah satu yang terbaik dan mendapat penghargaan "Grade Point Above Distinction." Sub-thesis Burhan di ANU yang disupervisi oleh Greg Fealy juga mendapat nilai sangat baik dari dua Indonesianis kondang Edward Aspinall dan William Liddle.

Setelah kembali ke Tanah Air, Burhan mencoba peruntungan sebagai konsultan politik dan bergabung dengan sebuah lembaga yang didirikan Bima Arya bernama Charta Politika. Dia juga mengajar di Pascasarjana Universitas Paramadina. Namun, sekitar tiga bulan, Burhan mengundurkan diri dari Charta Politika karena merasa tidak memiliki potongan menjadi konsultan politik.

"Saya pun kembali diajak Saiful Mujani bergabung dengan Lembaga Survei Indonesia (LSI) sebagai Direktur Bidang Public Affair. Saya merasa, menjadi peneliti menjadi pilihan saya ketimbang politisi," ungkap ayah dari Rayhan Adnan Mustafa, Avicenna Ananda Mustafa, dan Alexa Shakira Mustafa ini.

Kini, Burhan sudah terbilang menjadi pribadi yang sukses di usia muda. Namanya juga berkibar di tingkat internasional seiring dengan makin seringnya paper-paper ilmiahnya yang dimuat jurnal-jurnal peer-reviewed seperti Asian Journal of Social Science, Graduate Journal of Asia-Pacific Studies, dan Asian Journal of Social Policy.

Namun, pada saat namanya mulai dikenal publik, Burhan masih memiliki satu cita-cita yang belum tercapai. Bahkan dia pun siap meninggalkan popularitas demi mengejar harapannya. Apakah itu?

"Popularitas bukan segalanya. Saya ingin meraih gelar S3 secepatnya. Karena itu, tahun depan saya berencana kembali ke Australia dan meraih titel doktor dalam usia muda. Cita-cita saya hanya ingin menjadi akademisi. Sampai sekarang saya belum terpikir untuk menjadi politisi. Saya berharap istiqomah dengan jalur ini. Doakan saja ya!" pungkasnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More